Apa yang terlintas dalam pikiran Anda ketika mendengar kata crop circle? pasti muncul imajinasi sawah dengan sengkedan yang melingkar-lingkar. Tapi ini asli bukan buatan alien seperti yang muncul di daerah lain lho.. melainkan hasil buatan manusia.
Crop Circle ini terletak di Kec. Cancar, Kab. Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Pulau Flores merupakan daerah dengan kondisi georfasi berbukit-bukit, hampir sepanjang jalan dihiasi indahnya gunung dan sawah yang masih asri. Dibalik itu semua tersimpan beberapa destinasi wisata alami, salah satunya sawah Crop Circle.
Perjalanan dari Manggarai Barat, daerah pesisir pantai yang kering dan terik, menuju Manggarai Timur, wilayah pegunungan berhawa sejuk, terhampar jejeran bukit, lembah dan gunung, menjulang tinggi, tapi tak berdaya terselimuti kabut dan awan badai kelabu. Pematang sawah terhampar luas di kaki bukit Kampung Melo, Manggarai Barat. Februari padi-padi di sini masih hijau, menunggu waktu panen di bulan Mei. Permadani hijau ini bergerak-gerak seperti gelombang laut tertiup embusan angin lembah.
Sawah bagi masyarakat Manggarai bukan sekadar tempat menanam padi. Begitu dihargai sawah sebagai penopang kehidupan, maka sawah harus diatur oleh adat dan istiadat yang sarat makna dan filosofi. Nenek moyang orang Manggarai sudah menerapkan sistem pembagian sawah yang disebut lingko. Lingko adalah tanah adat yang dimiliki secara komunal untuk memenuhi kebutuhan bersama masyarakat.
Tanah lingko menjadi daya tarik yang luar biasa. Para pelancong melihat lingko sebagai keunikan yang tiada bandingnya. Salah satu keajaiban lingko adalah terletak di desa Cancar, Kabupataen Manggarai Timur. Di Cancar, ada persawahan dengan bentuk seperti jaring laba-laba raksasa yang mengundang rasa ingin tahu banyak orang. Cancar adalah kawasan paling dekat dengan ibukota Manggarai Timur, Ruteng, untuk melihat pembagian tanah lingko ini, sekitar empat puluh lima menit.
Para pengunjung harus mendaki bukit sekitar dua ratus meter dahulu untuk melihat pemandangan persawahan berbentuk jaring laba-laba. Di bawah kaki bukit, berdiri rumah sederhana keluarga Mama Susana, beserta ternak babi dan ayam milik keluarganya. Rumah mama ibarat gerbang dimulainya pendakian pendakian ke puncak bukit kecil Cancar.
“Pembagian lodok seperti itu karena kurang manusia. Iya, kurang manusia dulu, sudah ratusan tahun sawah laba-laba itu. Lodok sudah dibagikan sejak zaman jajah Belanda,” kata Mama bercerita tentang asal muasal sistem pembagian sawah jaring laba-laba. Setiap kampung di Manggarai Timur memiliki pembagian lodok ini, tetapi hanya di Cancar, lokasi dengan pemandangan terbaik untuk menyaksikan sawah berbentuk jaring laba-laba.
“Di (kampung) Dalo ada, tapi tidak ada tempat pemandangannya. Hanya di sini saja yang ada bukit sedikit. Di sini tempat yang paling banyak lingko lodok. Kalau di kampung yang lain sebatas satu hektar, di sini banyak sekali,” ucap Mama. Jalan setapak selebar dua meter mengawali medan perjalanan. Ada suara berisik, seperti bunyi televisi ketika mengakhiri siaran, menggema keras dari balik pepohonan rimbun di udara. Suara kencang seperti desisan ini tidak bunyi sekali-sekali, melainkan terus tanpa jeda.
Suara itu berasal dari dari hewan sejenis serangga bersuara nyaring, tonggeret. Biasanya serangga ini muncul di akhir musim penghujan, ketika hangatnya sinar matahari mulai menyirami rumah mereka di belantara raya. Dari balik hutan kopi rimbun ini, suara tonggeret bak buaian orkestra alam. Pendakian kecil ini cukup membuat napas tersengal-sengal, bagi yang mereka yang tidak biasa berolahraga mendaki. Namun, buat apa terburu-buru ketika Anda sedang berdiri di tengah-tengah surga? Yang harus dilakukan, cukup diam, meresapi sejenak keindahan ibu pertiwi.
Deretan puncak gunung, punggungnya disentuh gumpalan awan putih, langit biru cerah, atap-atap rumah penduduk menyebar di tengah bentangan pematang sawah, dan suara kesunyian. Hanya kedengaran teriakan kukuruyuk ayam peliharaan penduduk di kaki bukit, juga deru sebuah sepeda motor yang melintasi jalan raya kosong pembelah desa Cancar.
Sampai juga di puncak tertinggi bukit. Di sini, panorama terbaik sawah berbentuk jaring laba-laba yang sedang kami kejar berada. Sawah tradisional petani Manggarai ini bukan circle crop buatan makhluk luar angkasa. Tangan manusia yang sudah menciptakan sudut dan garis lurus demikian presisi ini.
Padi harus ditanam dengan sangat rapi. “Orang yang kerja itu harus rapi dengan warisan (sawahnya). Batasnya dengan di sebelah-sebelah itu harus lurus,” kata Mama Susana. Orang-orang tua dulu, Mama melanjutkan, mengukur dengan tali yang rentangnya harus lurus. “Ini orang tua punya warisan, pematang jadi batas sawah, dari lodok (pusat sawah) sampai cicing (bagian terluar sawah).”
Pada masing-masing pusat sawah, terdapat teno, yakni kayu yang menjadi titik pusat ditariknya garis menuju batas terjauh. Pusat ini juga disebut lodok. Tu’a teno atau tuan tanah biasanya mendapatkan bagian terbesar. “Kalau tu’a golo dan tu’a teno, besarnya (lingko atau sawahnya). Kalau warga yang biasa, rakyat yang biasa, kecil (lingkonya),” kata ibu dari tujuh orang anak tersebut.
Suami Mama juga memiliki cukup besar sawah di bawah sana, kendati tidak tahu pasti berapa luasnya. “Hasilnya satu ton lebih,” kata Mama tentang sawah itu suaminya itu. “Karena dia punya bapak itu ada tu’a golo (tuan tanah).
Panen raya akan hadir di bulan lima, Mei. Namun, keluarga Mama Susana dan kebanyakan pemilik sawah di situ tidak menjual hasil panen padinya. Mereka pilih memakannya sendiri. “Kecuali kopi kalau banyak, semua dijual ke China. Kalau kepepet tidak ada uang baru kami harus jual (padi).”
Daripada beras, menurut Mama lebih baik dia menjual ayam, babi, atau sapi. “Kami orang dari Flores tidak cukup kalau hasil segitu. Lebih banyak ongkos kerjanya daripada hasilnya. Beda, di Lembor sesuai uang keluar dengan pemasukan. Di sini, aiii susah sekali.”
Maksud Mama, di Lembor biasanya padi panen sebanyak tiga kali dalam satu tahun. Sementara, di Cancar hanya satu kali saja. “Tanah di bawah itu, cuma tunggu air hujan baru dia ada air. Kalau musim kering tidak ada (air), sudah dia, tidak jadi kelang.”
Itu sebabnya, Mama banyak memelihara manuk atau ayam, dan babi sebagai usaha sampingan.
Saat panen tiba di bulan Mei, penduduk biasanya melakukan upacara panen padi. Ada potong kambing dan potong ayam. Demikian juga dengan musim tanam. Upacara dilakukan untuk memohon pada arwah nenek moyang, para tuan tanah dahulu. Istilahnya memberikan para leluhur ini ‘makanan’.
“Kalau kita tidak kasih makan mereka, banyak mimpi. Mimpi yang tidak bagus semua, dan (sawah) tidak beri hasil. Harus ada harganya (sesajian), sembahyang dengan doa, (sesajen) ayam, kambing. Kalau tidak ada ayam atau kambing, pakai telur (ayam) kampung.”
Transportasi Menuju Crop Circle, Cancar, Manggarai
Sesampainya di ibu kota kabupaten Manggarai, Anda sebaiknya menuju terminal Mena. Tiba di Terminal Mena naik Otto (kendaraan truk kayu) tujuan Satarmese Barat. Nama Otto diantaranya Wijaya, Wae Rebo, Rita Lux. Silahkan ngobrol dengan supir otto untuk diturunkan di Cancar, mereka sudah tahu letak Crop Circle tersebut.
Harga Tiket Masuk Crop Circle, Cancar, Manggarai
Tidak ada tiket masuk, jadi gratis. Anda bertah berlama-lama di sini bersama sahabat, pacar, dan keluarga Anda. Ada juga yang memanfaatkan keindahan Crop Circle ini untuk foto Pre Wedding.
0 komentar:
Posting Komentar